Malu
Inspiratif sekali ceramah yang disampaikan hari ini, tema malu yang diangkat, masih terasa hangat, berkaitan dengan pengunduran diri Arifinto, anggota DPR dari FPKS yang harus bertanggung jawab atas perilakunya, menonton video porno saat sidang paripurna. Ya, banyak dari kalangan mengapresiasi apa yang dilakukan Arifinto, terkait budaya malu yang masih minim dikalangan pejabat negri, banyak yang tersandung kasus, bahkan sudah masuk kepengadilan, namun masih saja mempertahankan diri untuk menjadi wakil rakyat.
Sangat jauh sekali petinggi-petinggi negara, pemangku kepentingan dari rasa malu, bagaimana dengan rakyatnya?, tentu tak jauh berbeda, bisa disaksikan pada program-program berita ditelivisi-telivisi kita, semua penuh dengan tindakan-tindakan kriminal yang semakin sistematis saja. Dan yang menambah beban perasan, masalah itu menjadi bahan komersial, diekspos sedemikian bebas dilayar-layar kaca, Koran-koran, radio dan internet.
Malu dalam Islam, sebagaimana disebutkan sang Khatib jum’at siang tadi, malu untuk melakukan tindakan maksiat, malu melanggar syari’at, malu saat tidak melakukan ketaatan. Yang menjadi titik berat adalah betapa banyak orang malu hanya karena dia beribadah kepada Allah, apalagi mengajak beribadah, terlalu sedikit yang berani, kebanyakan malu-malu untuk melaksanakan, dan ini terjadi diantara calon-calon da’i.
Masih saja terlihat berat, saat harus mengingatkan seorang teman yang berbuat maksiat, bahkan sekalipun dia pimpinan atau yang diberi tanggung jawab untuk suatu tugas, yang mana bersangkutan untuk mengingatkan. Sebenarnya tak perlu menjadi pimpinan, Islam sudah menganjurkan unuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran, namun dalam praktek, banyak dari mereka masih mengunakan kata “maaf”, “afwan”, “tolong” dan masih banyak lagi kata-kata yang sebenarnya menunjukkan betapa lemahnya seseorang.
Tidak seharusnya, seorang muslim yang berada dalam kebenaran meminta maaf, istilahnya saat ini “lebai”. Cobalah mengangkat muka sedikit, saat mengatakan kebenaran, tidaklah perlu mengucap “maaf ini yang benar”. Kalau hanya untuk dikatakan secara halus, sangat jauh sekali dari tempatnya, sasaran dari kata maaf adalah kesalahan, sementara yang dikatakan adalah kebenaran. Karena sasaran kedua-duanya tidak sampai, maka sebenarnya yang terjadi hanya malu untuk mengungkap kebenaran.
Malu mengungkap kebenaran adalah salah, bukan pada tempatnya. Inilah yang terjadi dinegri Indonesia, negri berjuta harta karun, berjuta emas, berjuta kayu. Sehingga dahulu disebut kolam susu. Sekarang tidak lagi terlihat kolam itu, jangankan kolam, kota-kota saja banjir setiap tahunya, jauh dari barokah. Kekacauan dimana-mana ini, tidak lain dan tidak bukan, karena orang-orang baik di negri ini diam. Akhirnya tema ini berkaitan juga dengan ceramah ba’da zhuhur kemarin yang disamapaikan seorang pengurus Dewan Dakwah.
Menurut penceramah, musibah yang banyak terjadi dan menimbpa semua orang, baik sholeh maupun zhalim. Tidak lain dan tidak bukan, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al Qur’an, disebabkan orang-orang shalih tidak mengingatkan, atau malu mengungkap kebenaran.
Posting Komentar